CITAX

8 Catatan Dan Sederet Agenda Mendesak Dibidang Perpajakan (Setahun Jokowi – JK)

9d75064a-a939-42e9-9619-2974adf24dbaCNNINDONESIA.COM | 20 Oktober 2015

Jakarta, CNN Indonesia — Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai kenaikan kebijakan pajak pada tahun pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berpotensi mendistorsi hak-hak wajib pajak. Pasalnya, target penerimaan pajak dinaikkan sangat tinggi tanpa mengukur kapasitas pemungutan.

“Tekanan target ini berakibat pada aktivitas pemungutan pajak yang instan dan agresif sehingga berpotensi mendistorsi hak-hak wajib pajak,” ujar Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo melalui pesan singkat, Selasa (20/10).

Itu merupakan satu dari delapan penilaian dan catatan CITA terhadap kinerja perpajakan pada tahun pertama Kabinet Kerja.

Pada poin berikutnya, CITA menilai kenaikan target penerimaan pajak belum diikuti pemahaman yang baik akan pentingnya reformasi perpajakan yang komprehensif. Alhasil, kebijakan perpajakan masih bertumpu pada intensifikasi dan ekstensifikasi tanpa arah yang jelas.

“(Kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi) belum mengarah pada sektor potensial, menyasar kelompok tidak patuh, dan dilandasi upaya membangun kepatuhan sukarela wajib pajak,” katanya.

Kendati demikian, Yustinus melihat ada beberapa pencapaian yang layak diapresiasi meski belum memuaskan. Antara lain dengan ditetapjkannya 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak (WP). Meskipun program ini dinilai positif dalam membangun kesadaran dan kepatuhan WP, tetapi dalam praktiknya mengalami berbagai kendala.

“Termasuk distorsi pemerintah sendiri dengan mewacanakan tax amnesty,” katanya.

Secara umum, dia menilai Trisakti dan Nawacita merupakan platform visi yang dapat dijadikan rujukan untuk mengukur kesesuaian kebijakan pemerintah karena menyentuh dimensi regulasi, kelembagaan, dan administrasi.

“Kekuatan Nawacita adalah menempatkan pajak sebagai instrumen fiskal yang terukur dan efektif dalam bingkai kesadaran ideologis bahwa politik anggaran perlu ditata ulang,” katanya.

Menyoal transformasi kelembagaan yang menjadi janji penting Nawacita, Yustinus Prastowo mengingatkan pentingnya pembentukan Badan Penerimaan Negara yang lebih otonom, kredibel dan profesional. Hal ini sejalan dengan target pemerintah untuk meningkatkan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) menjadi 16 persen pada 2019.

Selain itu, CITA juga menyinggung soal kebijakan Jokowi-JK menaikkan remunerasi pegawai pajak sangat signifikan menyusul terbitnya Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015. Menurut Yustinus, kenaikan tunjangan merupakan prasyarat bagi kinerja pemungutan yang lebih optimal. Namun skema dan struktur remunerasi perlu ditinjau ulang, baik dari sisi keadilan maupun efektivitasnya.

“Pemerintah juga memulai tahun pertama dengan pergantian Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai melalui seleksi terbuka. Meski masih terdapat beberapa kelemahan, proses ini cukup bagus sebagai pondasi tata kelembagaan ke depan dan diharapkan pimpinan lembaga lebih bertanggung jawab, akseptabel dan kompeten,” tuturnya.

Menurut Yustinus, sensitivitas pemerintah akan pentingnya aspek pajak sebagai insentif mulai muncul ketika pada paruh kedua tahun ini mulai terjadi perubahan orientasi kebijakan pajak yang mendukung pemulihan ekonomi.

“Di sisi lain target sebaiknya lebih realistis dan tidak dijadikan ukuran satu-satunya kinerja Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai,” katanya.

Agenda Mendesak

Untuk itu, CITA mendesak Jokowi-JK konsisten dengan visi Nawacita-nya sehingga kebijakan pajak dapat mendukung kesinambungan fiskal bagi pencapaian kesejahteraan rakyat.

Caranya, kata Yustinus, dengan melakukan reformasi kelembagaan dengan segera mewujudkan Badan Penerimaan Negara yang kredibel, otonom, dan profesional, rekoneksi belanja dengan penerimaan, menyusun strategi jangka menengah yang berkelanjutan, dan membuat Forum Koordinasi Penegak Hukum.

Dia menambahkan, proses revisi UU Perpajakan perlu dipercepat dengan tetap memperhatikan prinsip dan asas perpajakan yang berkeadilan, menciptakan kepastian hukum, efisien, dan melindungi hak-hak wajib pajak.

Selain itu, paradigma perpajakan harus diubah dengan menempatkan target penerimaan dalam bingkai reformasi fiskal yang mempertimbangkan kapasitas kelembagaan, alokasi belanja pajak atau insentif (tax expenditure), dan kebutuhan belanja riil pemerintah pusat dan daerah.

Satu poin yang tak kalah penting, kata Yustinus, Jokowi-JK harus menunda pemberlakuan pengampunan pajak sampai beberapa prasyarat utama disiapkan, yakni administrasi pasca-pengampunan, skema manajemen kepatuhan pajak, revisi UU Perbankan, inisiasi Single Identification Number (SIN).

“Publik harus terus-menerus melakukan pengawasan terhadap kinerja Pemerintahan Jokowi-JK, agar pemerintahan demokratis yang dipilih rakyat ini setia dan tidak melenceng dari visi Trisakti dan janji Nawacita,” ucapnya menegaskan.

Komentar Anda