CITAX

Cukai Kemasan Plastik Perlu Dikaji

OKEZONE.COM | 12 Mei 2016
cukai-kemasan-plastik-perlu-dikaji-wCa8HnKFyy
JAKARTA – Rencana pemerintah mengenakan cukai terhadap botol kemasan plastik bisa kontraproduktif terhadap upaya pemerintah untuk mendorong laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk mengkaji rencana tersebut secara mendalam. ”Jangan sampai kebijakan dirumuskan karena asumsi, ini yang bahaya. Di Indonesia ini terlalu banyak pungutan,” kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo di Menara Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Kuningan, Jakarta.
Yustinus pun menilai, rencana pengenaan cukai terhadap botol kemasan plastik tidak tepat. Dia mengatakan, pengenaan cukai kemasan plastik berarti pengendalian konsumsi dan pengawasan peredaran produk yang dikemas. Padahal, selama ini produk makanan dan minuman sudah berada di bawah kendali Badan Pengawas Obat-Obatan dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Lingkungan Hidup.
”Kemasan plastik juga tidak termasuk produk industri yang konsumsinya perlu dikendalikan. Kalau kita membandingkan konsumsi plastik per kapita yang ada di negara lain, terutama Eropa Barat itu (konsumsi kita), masih sangat rendah. Konsumsi plastik di Eropa Barat yang tinggi pun di sana tidak menerapkan cukai plastik,” tuturnya.
Yustinus juga menyebut, pengenaan cukai terhadap kemasan botol plastik dapat membuat harga produk naik sehingga secara makroekonomi akan membuat inflasi naik dan pertumbuhan konsumsi turun.
Dampaknya secara lebih besar, kata dia, membuat pertumbuhan PDB turun sehingga penyediaan lapangan kerja pun ikut turun.
”Ekstensifikasi cukai memang kewenangan pemerintah, tapi kewenangan itu enggak harus digunakan. Tergantung situasi. Kita dorong pemerintah untuk melakukan riset dan studi mendalam kalau pingin kasih cukai. Pajak itu kan mengikuti pertumbuhan (ekonomi) dan target perpajakan kita terlalu tinggi,” ucapnya.
Hal senada diutarakan oleh Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Titie Sadarini. Dia menyatakan bahwa rencana pemerintah mengenakan cukai akan berdampak kepada konsumen akhir sehingga mengancam daya beli. Dia juga menyinggung kontribusi industri makanan dan minuman tahun lalu yang mencapai 31 persen terhadap PDB.
”Jadi kalau ini diotak-atik, terus bagaimana mau tumbuh. Pemerintah mengeluarkan paket-paket kebijakan deregulasi tapi dengan adanya cukai ini jadi bertentangan karena menambah beban (industri),” ujarnya.
Dia menyebutkan, alasan lingkungan yang menjadi dasar pengenaan cukai terhadap botol kemasan plastik oleh pemerintah juga tidak tepat. Dia mengutip, kajian Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Bantar Gebang, Bekasi yang menemukan bahwa plastik bekas hanya 17 persen dari total sampah.
”Food waste dan yard waste 67 persen. Dari limbah plastik yang 17 persen itu pun, 46 persennya plastik kresek. Jadi, saya kira kalau pemerintah mau cari penerimaan, cari cara yang positif untuk mendorong industri,” tukasnya.
Sebelumnya Kepala Kepabeanandan Cukai BKF Kementerian Keuangan Nasrudin Joko Suryono mengatakan, objek cukai di Indonesia masih tergolong minim sehingga mendorong pemerintah melakukan ekstensifikasi objek cukai. Dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, barang yang dikenakan cukai hanyalah produk hasil tembakau, etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol, dan minuman keras.
Nasrudin mengatakan, salah satu dasar pengenaan cukai botol plastik adalah keberadaannya yang merusak lingkungan karena plastik membutuhkan waktu ratusan tahun sebelum bisa terurai. Dia pun mengutip data pertumbuhan konsumsi plastik pada tahun 2015 yang mencapai 7 persen atau 3 juta ton.

(dni)

Komentar Anda