CITAX

Mengetahui "Shortfall" Pajak dan Bahayanya untuk Indonesia

KOMPAS.COM | 22 Juni 2016

1437467shutterstock-192444140780x390

JAKARTA, KOMPAS.com – Rio De Janeiro terancam menghelat Olimpiade dengan tidak optimal. Menurut laporan BBC, penyebabnya adalah krisis keuangan yang melanda negara bagian di Brazil itu.

Pemerintah menuding shortfall pajak akibat kelesuan di industri minyak sebagai akar permasalahan krisis finansial di Rio De Janeiro.

Secara umum, Brazil memang tengah mengalami resesi parah. Melihat pengalaman Brazil – sebagai sesama emerging market – Indonesia perlu mengantisipasi kejadian serupa, shortfall pajak.

Namun sebelum itu, perlu dipahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan shortfall pajak. Shortfall adalah kondisi ketika realisasi lebih rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBN Perubahan.

Dalam konteks penerimaan pajak, shortfall sering terjadi ketika realisasi penerimaan pajak dalam satu tahun kurang dari target penerimaan pajak.

“Misalnya saja, pada APBN Perubahan 2015 target penerimaan pajak sebesar Rp 1.294 triliun, sedangkan realisasinya sebesar Rp 1.060 triliun. Maka shortfall yang terjadi adalah Rp 234 triliun (selisih target dan realisasi),” ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo kepadaKompas.com, Rabu (22/6/2016).

Menurut Yustinus, shortfall pajak tidak akan menyebabkan Indonesia bangkrut. Alasannya, Indonesia mempunyai undang-undang yang mengatur batasan defisit anggaran sebesar tiga persen.

Akan tetapi, jika shortfall pajak terus berlanjut akan menjadi bahaya besar, karena ketahanan fiskal menjadi buruk.

Pertanyaan kemudian, kalaupun tidak membuat negara bangkrut karena ada batasan defisit tiga persen, apakah shortfall pajak mempengaruhi kepercayaan debitur bahwa Indonesia mampu mengembalikan utang?

“Secara umum iya. Bahkan sekarang market pun khawatir karena shortfall akan mengurangi kepercayaan pada kemampuan pemerintah dalam mengelola dan mengembangkan perekonomian,” imbuh Yustinus.

Shortfall Pajak 2016?

Setelah memahami ringkas apa yang dimaksud dengan shortfallpajak, sekarang mari kita lihat perkiraan shortfall pajak di 2016.

Dalam Rancangan APBN Perubahan 2016, penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp 1.343 triliun, sedikit lebih rendah dari target APBN 2016 yang sebesar Rp 1.360 triliun, namun lebih tinggi dari APBN Perubahan 2015 yang sebesar Rp 1.294 triliun.

Kebijakan pengampunan pajak yang saat ini tengah digodok oleh Panja Tax Amnesty diharapkan menambah penerimaan pajak sebesar Rp 165 triliun.

Itu pun masih belum pasti tercapai Rp 165 triliun. Kekhawatiran terjadinya shortfall pajak 2016 semakin menguat jika melihat kinerja penerimaan pajak hingga saat ini.

Data menunjukkan, hingga Mei 2016 realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 359 triliun atau 26,7 persen dari target yang ditetapkan pada Rancangan APBN Perubahan 2016.

Menurut Yustinus, nominal realisasi tersebut hanya 95 persen dibandingkan realisasi periode sama 2015.

Apabila diasumsikan hingga Desember 2016 realisasi penerimaan pajaknya tetap 95 persen dari realisasi 2015, maka penerimaan pajak yang dikumpulkan hanya mencapai Rp 1.007 triliun (75 persen dari target Rancangan APBN Perubahan 2016).

“Dengan demikian, meskipun hasil penerapan Tax Amnesty sesuai target (Rp 165 triliun), shortfall penerimaan pajak masih cukup besar. Penerimaan pajak dari Tax Amnesty hanya menambah perkiraan realisasi menjadi Rp 1.172 triliun atau 87 persen dari target Rancangan APBN Perubahan 2016,” kata Yustinus.

Dampak Shortfall Pajak

Jika Rio De Janeiro nyata-nyata mengalami kecemasan tidak bisa menyelenggarakan Olimpiade secara optimal dalam dua bulan mendatang.

Lantas, apa dampak shortfall pajak yang mungkin akan dialami Indonesia? (Baca: Kurang 2 Bulan Jelang Olimpiade, Rio de Janeiro Alami Krisis Keuangan)

Secara prinsip, shortfall pajak dapat berimplikasi pada defisit anggaran atau pengeluaran negara yang melebihi penerimaan.

Yustinus mengungkapkan, dengan asumsi target penerimaan 100 persen tercapai, defisit anggaran pada Rancangan APBN Perubahan 2016 ditargetkan Rp 313,3 triliun atau 2,48 persen dari perkiraan Produk Domestik Bruto (PDB) 2016 yang sebesar Rp 12.500 triliun.

“Perlu diketahui bahwa UU Keuangan Negara No.17 tahun 2003 membatasi defisit anggaran maksimal tiga persen dari PDB atau Rp 375 triliun untuk Rancangan APBN Perubahan 2016,” katanya.

Selain itu, perlu ditekankan pula bahwa defisit anggaran dibiayai oleh utang negara. Dengan demikian, semakin besar defisit anggaran, semakin besar pula beban anggaran untuk membayar cicilan utang serta bunganya.

Yustinus menambahkan, dengan atau tanpa mengasumsikan adanya penerimaan Tax Amnesty yang sesuai target, defisit anggaran 2016 diperkirakan tetap mengkhawatirkan. Tanpa Tax Amnesty, defisit anggaran dapat mencapai Rp 649.3 triliun atau 5,19 persen dari PDB.

“Penambahan dari Tax Amnesty sebesar Rp 165T hanya sedikit mengubah perkiraan defisit anggaran menjadi 3,9 persen dari PDB. Itupun dengan asumsi bahwa seluruh target penerimaan selain pajak dapat mencapai targetnya,” pungkas Yustinus.

Komentar Anda