CITAX

Optimalkan Pajak Dengan Tetap Menjaga Daya Beli

NERACA.CO.ID | 22 Agustus 2016

Kebijakan perpajakan pada 2017 akan diarahkan pemerintah untuk mengoptimalkan potensi penerimaan dari sektor pajak dengan tetap menjaga daya beli masyarakat serta mendorong iklim investasi.
Kebijakan perpajakan yang dapat mendukung gerak perekonomian itu merupakan salah satu kebijakan utama pemerintah dalam RAPBN 2017 yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam Sidang Paripurna DPR di Jakarta, Selasa (16/8).
Untuk mencapai target yang masih berisiko terjadi “shortfall” atau gagal itu pemerintah akan melakukan berbagai langkah kebijakan seperti peningkatan basis pajak atau tax base dan kepatuhan wajib pajak (WP) yang meliputi penerapan amnesti pajak serta upaya ekstensifikasi melalui penguatan basis data perpajakan.
Pemerintah juga mendorong upaya intensifikasi melalui penggunaan teknologi informasi serta menjalankan implementasi atas konfirmasi status WP bagi pelayanan publik.
Selain itu, memberikan insentif perpajakan untuk meningkatkan iklim investasi, daya saing industri dan mendorong hilirisasi industri dalam negeri, memperbaiki regulasi perpajakan dan mengenakan cukai atau pajak lainnya untuk pengendalian konsumsi barang tertentu.
“Pajak ini kombinasi dari dua fungsi yang sebenarnya sulit dilakukan yaitu penerimaan negara yang diperkuat, tapi juga mendorong iklim investasi agar kompetitif. Kami cari titik tengah dari sisi pendapatan,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu memastikan target penerimaan perpajakan pada 2017 lebih realistis karena pemerintah telah melakukan penyesuaian yang rasional terhadap proyeksi penerimaan perpajakan pada 2016, meskipun ternyata ada potensi kekurangan pendapatan sebesar Rp219 triliun.”Dari outlook penerimaan perpajakan 2016 yang lebih realistis, penerimaan perpajakan 2017 tumbuh sekitar 13-15 persen,” katanya.
Pemerintah menargetkan pendapatan negara dalam RAPBN 2017 sebesar Rp1.737,6 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan perpajakan direncanakan Rp1.495,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp240,4 triliun.
Penerimaan perpajakan yang sebesar itu akan diarahkan pada pendapatan dari sektor nonmigas terutama dari Pajak Penghasilan (PPh) Rp751,8 triliun dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp493,9 triliun.
Dibandingkan dengan target dalam APBN Perubahan 2016, baik pendapatan negara dan penerimaan perpajakan serta PNBP itu lebih kecil. Dalam APBNP 2016, pendapatan negara dan hibah Rp1.786,2 triliun yang terdiri dari penerimaan perpajakan Rp1.539,2 triliun dan PNBP Rp245,1 triliun.
Sementara itu, belanja negara dalam RAPBN yang ekspansif itu ditargetkan Rp2.070,5 triliun, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp1.310,4 triliun, dan alokasi transfer ke daerah dan dana desa Rp760 triliun. Dengan demikian anggaran itu defisit Rp332,8 triliun atau 2,41 persen dari produk domestic bruto (PDB).
Asumsi makro dalam RAPBN 2017 masing-masing pertumbuhan ekonomi 5,3 persen, inflasi 4,0 persen, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS Rp13.300, suku bunga SPN 3 bulan 5,3 persen, dam asumsi rata2 harga minyak 45 dolar AS per barel.
Selain itu volume migas yang siap dijual 1,93 juta barel setara minyak per hari, yang terdiri dari produksi minyak bumi 780.000 barel per hari dan gas bumi sekitar 1,15 juta barel setara minyak per hari.
Belanja Efektif

Berkaitan dengan belanja negara pada 2017, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan pencapaiannya akan lebih efektif untuk mendorong program produktif dan prioritas yang sudah ditetapkan sebelumnya, yaitu membangun infrastruktur, meningkatkan kualitas SDM bidang pendidikan dan kesehatan, serta mengurangi kesenjangan.
Pagu indikatif belanja pemerintah pusat dalam RAPBN 2017 sebesar Rp1.310,4 triliun akan digunakan untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan seperti memacu pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, menekan pengangguran dan mengendalikan inflasi.
Belanja tersebut di antaranya akan dimanfaatkan untuk belanja Kementerian/Lembaga Rp758,4 triliun, pembayaran bunga utang Rp221,4 triliun, belanja subsidi Rp174,9 triliun serta belanja lainnya sebesar Rp155,8 triliun.
Beberapa pokok dari kebijakan belanja pemerintah pusat adalah melanjutkan efisiensi belanja operasional dan non prioritas, melanjutkan efisiensi belanja subsidi melalui perbaikan mekanisme penyaluran dan akurasi data penerima dan meningkatkan kualitas program perlindungan sosial.
Kemudian, meningkatkan efektivitas pelayanan dan keberlanjutan program SJSN, memantapkan reformasi birokrasi dengan menjaga kesejahteraan aparatur negara, memperkuat kepastian dan penegakan hukum serta mengantisipasi ketidakpastian ekonomi melalui dukungan cadangan risiko.
Strategi Jelas

Menurut sejumlah pengamat perpajakan, target penerimaan pajak pada 2017 itu dapat tercapai jika pemerintah memiliki strategi yang jelas.
Ekonom dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengatakan faktor penentu pencapaian target itu di antaranya adalah timbal balik antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak serta perbaikan sistem koleksi pajak.
Menurut dia, sudah saatnya pemerintah mulai mengetatkan sanksi bagi WP yang bandel.
Sementara Direktur Utama Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan, penerimaan pajak tahun depan itu lebih realistis sehubungan dengan diberlakukannya program amnesti pajak yang telah meningkatkan basis pajak.
Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam minta pemerintah untuk melakukan reformasi perpajakan guna meningkatkan penerimaan pajak sesuai yang ditargetkan. Hal itu menjadi menjadi prasyarat penting untuk meningkatkan penerimaan perpajakan secara komprehensif dan berkelanjutan.
Ia menilai bahwa target penerimaan perpajakan dapat dikatakan masih terlalu optimistis, sehingga risiko shortfall akan besar jika bercermin dari situasi perpajakan 2015 dan 2016.
“Belum ada yang menggembirakan, meskipun pemerintah telah menggulirkan tax amnesty sebagai senjata andalan. Jika dapat dikatakan, situasi 2017 juga kurang lebih masih akan sama. Bahkan pemerintah berencana menurunkan PPh Badan,” ujar dia.
Ecky menekankan tidak tercapainya target penerimaan perpajakan pada 2015 yang hanya 83,2 persen atau setara dengan Rp1.240 triliun harus menjadi pelajaran berharga. Realisasi 2015 itu lebih rendah dari 2014 yang mencapai 92,04, dan 2013 yang mencapai 93,81 persen serta 2012 yang mencapai 94,4 persen.
Beberapa potensi yang menyebabkan risiko shortfall penerimaan pajak antara lain harga komoditas dunia masih belum membaik, tertutupnya peluang pemerintah untuk menarik sumber penerimaan pajak terutama dari sanksi maupun investigasi karena digulirkannya program amnesti pajak, dan rencana pemerintah menurunkan tarif PPh badan menjadi 17-20 persen dari 25 persen.
Karena itu target penerimaan perpajakan harus ditetapkan lebih kredibel karena akan berpengaruh signifikan terhadap komponen-komponen lain dalam APBN, terutama realisasi defisit dan utang, serta beban biaya bunga utang yang akan ditanggung ke depan. (Ant.)

Komentar Anda