CITAX

Surga Pajak

DETIK.COM | 11 April 2016

bd3c42e5-62e0-40a9-a5c3-e07003e1d586_169 (1)

Jakarta -Surga pajak atau tax haven tengah jadi buah bibir banyak orang. Tidak hanya di Indonesia tapi di dunia. Kalau di warung kopi terlalu sulit untuk mencarinya, coba saja lihat di berbagai media sosial.
Ini berawal dari dokumen bernama Panama Papers. Sajian informasi rahasia milik firma hukum Mossack Fonseca yang kemudian bocor dan menimbulkan kehebohan.
Wajar kalau heboh, karena dalam informasi tersebut melibatkan daftar pemimpin negara, pejabat dan politisi, pengusaha, atlet, hingga kalangan artis. Bayangkan, Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson sampai mengundurkan diri pada Selasa 5 April 2016, sebab namanya tercantum dalam dokumen tersebut dan memicu amukan rakyat.
Tapi apa yang salah dengan surga pajak?
Dalam artikel milik Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis, yang dikutip detikFinance, Senin (11/4/2016), tertulis surga pajak adalah suatu negara atau wilayah yang mengenakan pajak rendah, atau sama sekali tidak mengenakan pajak, serta menyediakan tempat yang aman bagi simpanan untuk menarik modal masuk.
Prastowo menyebutkan, tujuh surga pajak terindah di 2007 lalu adalah Swiss, Liechtenstein, Austria, Panama, Saint Kitts and Nevis, Belize, dan Hong Kong.
Sementara negara dengan surga untuk penempatan aset ada 11 wilayah, yakni Jersey (Channel Island / European Mediterania), Liechtenstein, The Cayman Island, St Kitt Nevis, Panama, Gilbatar, Isle of Man, Bermuda, Bahamas, Austria, dan New Zealand.
Hadirnya surga pajak merupakan imbas dari peningkatan tarif pajak berbagai negara. Bukan setahun atau sepuluh tahun yang lalu, tapi sejak 1984 yang bermula di Inggris. Negara seperti Swiss, Zurich, dan Basel muncul sebagai surga pajak baru, karena negara-negara Eropa menerapkan pajak sampai dengan 72%.
Selanjutnya muncul Caymand Island pada 1960, dengan dukungan perbankan Kanada. Diikuti oleh Panama dan sederet wilayah lain dengan konsep yang tidak jauh berbeda.
Bagi pemilik modal, tentu tidak ada alasan menolak tawaran surga pajak. Manfaat yang diberikan adalah peluang diversifikasi investasi, strategi menangguhkan beban pajak, perlindungan aset yang kuat, hasil investasi bebas pajak, keleluasaan dan privasi, imbal hasil yang lebih besar, pengusrangan beban pajak, menghindari restriksi mata uang, dan  peluang mengembangkan bisnis.
Caymand Island yang luasnya hanya 264 km persegi mampu memiliki 70 ribu perusahaan, 430 bank, 720 perusahaan asuransi, dan 7.000 fund manager. Padahal negara pulau kecil ini tercatat hanya memiliki 5.400 pegawai dan terdapat satu alamat dengan 18 ribu perusahaan.
Cayman memiliki asset 1,3 kali PDB Norwegia (US$ 499,8 miliar di 2014). Angka fantastis juga terdapat pada wilayah yang disebut surga pajak lainnya.
Wilayah tersebut menjadi basis bagi perusahaan yang ingin berinvestasi kepada banyak negara. Sebanyak 33% total investasi langsung, berasal dari wilayah surga pajak. Tak terkecuali Indonesia. Pada 2015 lalu, dalam 20 daftar investor terbesar di Indonesia, asal negaranya adalah Caymand Island, British Virgin Island, dan Mauritius.
Bila melihat ke dalam landasan awal, tentunya bukan merupakan sebuah kesalahan bagi pemilik modal untuk menikmati aneka tawaran surga pajak. Hak bagi mereka untuk memutar modal yang dimiliki dan mendapatkan keuntungan yang besar. Terutama bagi yang ingin berinvestasi ke negara lain.
Namun, ada beberapa pihak yang memang sengaja menyalahgunakan surga pajak. Seperti untuk area pencucian uang dan penggelapan pajak. Kondisi ini mengancam stabilitas sistem keuangan.
Otoritas pajak di dunia memiliki keterbatasan mendeteksi surga pajak tersebut. Bahkan sekaliber otoritas pajak milik Amerika Serikat (AS) Internal Revenue Service (IRS), ternyata masih belum sanggup.
Pemilik modal asal AS, mungkin tidak akan memilih Panama sebagai surganya, karena masih  terdeteksi IRS. Tapi ada pilihan Swiss dan Luksemburg yang lebih jauh.
“Karena Panama termasuk di bawah AS, mudah dikejar IRS. Kalau Swiss dan Luksemburg kan lebih sulit,” terang Prastowo.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Nama orang Indonesia yang tertera dalam Panama Papers atau terlibat pada surga pajak manapun belum dapat dipastikan bersalah. Kembali lagi, banyak tujuan pemilik modal untuk memanfaatkan fasilitas dari surga pajak.
Harus ada pembuktian dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) agar statusnya menjadi lebih jelas. Dokumen apapun bisa saja menjadi acuan. Langkah selanjutnya adalah klarifikasi dari wajib pajak, baik dari skema bisnis yang dijalankan, hingga transaksi keuangan maupun aset.
Indonesia juga membutuhkan aturan terkait dengan General Anti Avoidance Rules (GAAR). Aturan ini mencakup perencanaan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak beserta promotornya. Promotor adalah bank dan konsultan hukum.
“Belum bisa (dikatakan salah), sampai ada bukti memang melanggar aturan pajak,” kata Darussalam, pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center.

 (mkl/wdl)
Komentar Anda