CITAX H1

Pengampunan Pajak Belum Final

REPUBLIKA.CO.ID | 23 OKTOBER 2015

JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum bisa memastikan kapan program pengampunan pajak bisa dijalankan. DJP masih harus menunggu kepastian dari DPR terkait pelaksanaannya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Mekar Satria Utama mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak masih dalam tahap pembahasan di DPR. “Kami menunggu arahan dari DPR. Karena, program ini kan yang menginisiasi DPR,” kata Mekar kepada Republika di Jakarta, Selasa (21/10).

Mekar juga tidak ingin menjawab ketika ditanya adanya penyempitan cakupan pengampunan pajak. Cakupan pengampunan pajak dipersempit hanya pada pidana pajak dan tidak diperuntukkan pada hal lain seperti pengampunan untuk tindak pidana korupsi. “Kami belum bisa memberikan jawaban soal ini. Intinya, kalau DPR bilang sudah bisa dijalankan, ya dijalankan,” kata Mekar.

Kendati demikian, Ditjen Pajak tetap yakin penerimaan pajak bisa tembus Rp 1.174 triliun dari target dalam APBN Perubahan 2015 Rp 1.294,2 triliun. Bahkan, lembaga ini optimistis shortfall atau selisih realisasi dengan target penerimaan pajak tidak lebih dari Rp 120 triliun.

Laporan Ditjen Pajak, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 686,274 triliun atau 53,02 persen dari target hingga 30 September 2015. Mekar menjelaskan, ada tiga faktor yang membuat DJP yakin shortfall tidak melebar. “Kami masih memosisikan diri bahwa shortfall tidak lebih dari Rp 120 triliun. Bahkan, kalau bisa dikurangi,” kata Mekar.

Mekar menjelaskan, DJP yakin shortfall tidak melebar karena program Tahun Pembinaan Pajak 2015 akan berhasil. DJP akan menggencarkan sosialisasi dan mengimbau wajib pajak untuk segera memperbaiki surat pemberitahuan pajak (SPT).

Berkaca dari pengalaman sebelumnya, ujar Mekar, program Tahun Pembinaan Pajak—hampir serupa dengan program sunset policy 2008—menyebutkan permohonan perbaikan SPT melonjak drastis pada akhir tahun. Jumlahnya mencapai 300 kali lipat dari biasanya.

Selain itu, penerimaan pajak juga akan melonjak dengan meningkatnya realisasi penyerapan anggaran oleh pemerintah yang biasanya menumpuk pada akhir tahun. Peningkatan penyerapan anggaran, khususnya untuk belanja modal, akan meningkatkan penerimaan pajak dari sektor pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh). “Ketiga, tentunya kami berharap ada perbaikan ekonomi pada akhir tahun ini,” kata Mekar.

DJP, kata Mekar, juga terus melakukan upaya penindakan hukum untuk mengejar penerimaan. Saat ini DJP sudah membentuk satuan tugas penanganan faktur pajak fiktif. Dari upaya ini, ditargetkan ada pemasukan dari PPN sebesar Rp 6,6 triliun. Selain penanganan faktur pajak fiktif, DJP juga gencar melakukan penegakan hukum berupa gijzeling atau penyanderaan wajib pajak.

Upaya lainnya dilakukan dengan melakukan ekstensifikasi wajib pajak. Belum lama ini, tambah Mekar, DJP sudah membuka gerai pelayanan pajak di Pasar Tanah Abang. Gerai-gerai pajak lainnya juga akan terus dibuka di berbagai daerah.

Sementara itu, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo meminta pemerintah tidak terburu-buru memberlakukan pengampunan pajak. Indonesia dinilai belum siap untuk memberlakukan kebijakan tersebut. “Masih banyak hal yang belum mendukung. Kalau terburu-buru, khawatirnya pengampunan itu tidak akan optimal,” kata Yustinus kepada Republika.

Yustinus menjelaskan, pengampunan pajak membutuhkan sistem administrasi memadai, khususnya administrasi pascapengampunan. Harus ada pengawasan terhadap seseorang yang sudah diberikan pengampunan.

Selain itu, pemerintah juga dinilai belum memiliki skenario yang jelas untuk membedakan wajib pajak yang tidak patuh dengan yang sudah patuh saat pengampunan pajak dilakukan. Dia khawatir, wajib pajak yang selama ini sudah patuh merasa cemburu karena wajib pajak yang selama ini melakukan penghindaran pajak malah diampuni. “Manajemen seperti ini perlu dilakukan agar tidak menimbulkan distorsi bagi wajib pajak yang patuh menjadi tidak patuh,” kata dia.

Meski begitu, Yustinus menyambut baik karena pemerintah dan DPR akhirnya sepakat mempersempit cakupan pengampunan pajak hanya pada sebatas pidana pajak. Sehingga, tidak meluas pada cakupan pengampunan lain seperti pengampunan untuk pelaku tindak pidana korupsi.

Walau menilai pengampunan pajak belum siap dilakukan, dia menyebut kebijakan ini bisa membuat orang-orang yang selama ini melakukan penghindaran pajak untuk membayarkan kewajibannya. Sebab, ada diskon pajak cukup besar bagi seseorang yang mau melaporkan hartanya yang sebelumnya tidak dilaporkan.

Dengan pengampunan pajak, apabila wajib pajak ada yang melaporkan hartanya sejumlah Rp 10 miliar, uang tebusan yang harus dibayar hanya sebesar dua persen atau Rp 200 juta. Sedangkan, kalau seseorang terbukti melakukan penghindaran pajak dengan tidak melaporkan seluruh harta kekayaannya, tarif pajaknya sebesar 30 persen. “Bedanya memang besar, tapi ini tujuannya supaya wajib pajak yang tidak bisa dikejar mau mengaku dan melaporkan harta kekayaannya,” kata dia. n ed: zaky al hamzah

Komentar Anda