TAJUK

Pengampunan, antara Amnestia dan Amnesia

CITA | 20 Januari 2016

Pengampunan, antara Amnestia dan Amnesia

“Kita tak pernah bisa menerka masa depan, karenanya diikat oleh janji. Dan kita tak bisa memutar jarum sejarah ke masa silam, maka ada pengampunan.’- demikian filsuf perempuan Hannah Arendt pernah berkata. Pengampunan – istilah yang hari-hari ini menyita perhatian publik, persis karena Pemerintah berencana menerapkan program pengampunan pajak. Asalnya “amnestia”, semacam tindakan menghapus noda. Lebih cepat, lebih baik. Jargon yang menggambarkan ketrengginasan namun sekaligus menjadi antitesis obat kuat.

Catatan kecil ini tak ingin menyoal aneka problematik yang telah panjang lebar diurai, bahkan disusupi berlapis-lapis argumen yang amat meyakinkan tentang pentingnya program ini. Saya pun tak hendak melawan, apalagi hal ini keluar dari mulut kekuasaan, diamini rahang pemodal, dan dikemas dalam mantra politisi “rekonsiliasi nasional”. Di hadapan tiga kekuatan itu, rasanya sikap terbaik adalah menunggangi angin sejarah secara taktis, jika tak mau menjadi pelanduk yang mati sia-sia.

Pengampunan adalah idiom teologi, bagian dari sikap keberagamaan yang amat sakral dan substansial. Sakral karena momen pengampunan adalah pertemuan antara dua pihak yang mengaku bersalah dan menawarkan maaf. Sangat substansial karena peristiwa ini adalah sebuah rekonsiliasi, perdamaian, peleburan menjadi horison baru dengan lembaran putih bersih. Agama memang sangat dekat dengan politik, keduanya bekerja sama dan saling memanfaatkan. Lantas bagaimana dengan pengampunan pajak?

Saya tak hendak masuk ke perdebatan teknis. Itu tugas akuntan, meski insinyur pun boleh ikutan. Ikhwal yang hendak saya ajukan adalah, jika pengampunan pajak sedemikian mulus dirancang dan akan diterapkan, sudahkah cukup jelas siapa yang bersalah dan meminta ampunan dan siapa yang berhak memberi pengampunan? Sistem administrasi perpajakan adalah relasi antara otoritas pajak dan wajib pajak yang kompleks. Penghindaran pajak boleh jadi diniatkan wajib pajak dan hanya mungkin jika administrasi pajak belum baik dan aturannya bolong.  Kedua pihak andil membuat kesalahan. Selebihnya pengemplangan pajak adalah kejahatan yang harus dihukum!

Di sini kekhawatiran menyeruak. Sejak awal pembahasan, pengampunan pajak ini tidak menarik batas jelas antara pemohon dan termohon. Boleh saja kita berfantasi Pemerintah melalui otoritas pajak yang duduk gagah di takhta kewenangan seraya mendengarkan para pengemplang pajak datang menjura dan memohon. Namun yang terjadi justru Pemerintah yang lunglai, malah terkesan aktif menjajakan dagangan sambil mengiba agar program ini terlaksana dengan baik.

Pengampunan pajak bukan barang haram yang harus ditolak secara a priori. Tapi kita wajib mengkritisi pengampunan pajak yang terburu-buru dirancang dan tak pernah dimaksudkan sebagai sebuah ajang pemaafan, rekonsiliasi. Kita bisa membaca perjalanan program ini. Miskin visi, sarat kepentingan, motifnya melulu dagang: ambil untung terbanyak!  Lihat saja pertimbangan ketika program ini ditawarkan, akan ada ribuan trilyun rupiah pulang kampung. Ini akan menggerakkan ekonomi yang butuh asupan. Pula mendongkrak penerimaan negara. Lalu pengampunan nasional – mencakup seluruh tindak pidana pun diminta. Dalam perjalanan, rumusan semakin jauh dari janji: tarif rendah, repatriasi tidak diwajibkan. Sulit ditolak bahwa ini sekedar pacuan waktu: bergegas karena 2018 akan ada senjata pamungkas yang ganas, pertukaran informasi otomatis.

Akhirnya, kita maklum bahwa pengampunan yang berciri teologis ini sejatinya memang politis. Bungkus rekonsiliasi nasional akan menjadi rumit ketika sejarah menagih janji tentang Peristiwa 1965, Tanjung Priok, Talangsari, Mei 1998 dan lainnya. Janganlah kita berkhayal tentang rekonsiliasi jika belum sanggup mengaku salah dan berdamai dengan berbagai peristiwa itu. Apabila hendak dicari benang merah, barangkali tak sulit menduga bahwa uang tak punya agama, ideologi, dan visi. Ia lincah masuk menyelinap di ruang kewenangan, menerobos tirai kekuasaan, menaklukkan janji kesetiaan.

Saya memang resah dan murung. Meminjam jargon obat kuat yang mampu menyihir kita menjadi pria perkasa, demikianlah uang bekerja dalam fantasia. “Saya minum Viagra, maka saya perkasa!” Bukan kita, melainkan ia yang ada. Sebaiknya kita realistis, tak terlampau banyak harap, dan terlalu muluk. Sejak awal saya sadar ini proyek pengampuan, bukan pengampunan. Tak ada rekonsiliasi. Setelah pesta usai, kita segera kembali ke rutinitas dan keyakinan masing-masing, termasuk (kembali) menghindar pajak. Sangat wajar dan manusiawi. Amnestia adalah amnesia.

Yustinus Prastowo
Pemungut remah sejarah

Komentar Anda